Secret Admire
Mentari masih belum siap menampakkan diri secara jelas hanya embun yang
menyambut pagiku, terasa begitu dingin bersama hembusan angin yang mulai
merasuki tubuh melalui celah jendela mobil yang menghantarku sekolah. Takkan
kulewatkan hari pertama masuk SMU yang selama ini kuidolakan. Betapa
beruntungnya aku yang telah berhasil lolos test melawan ratusan siswa yang
mendaftar. Rasanya tidak sabar mencoba pengalaman baruku. Kumulai dengan
melangkahkan kaki menuju gerbang, suasana masih tampak lengang, aku terlalu
semangat menyambut dunia baruku. Dalam benakku, menjadi siswa SMU pasti
menyenangkan karena pepatah mengatakan masa SMU itu adalah masa-masa indah
Kesan
pertama yang kurasakan sangat berbeda ketika di SMP. Agenda sekolah hari hanya
perkenalan siswa baru dan para guru, aku banyak memiliki teman baru dari
berbagai sekolah di penjuru kota.“Kriiinggggg……” bel tanda pulang
sekolah, seluruh siswa bergegas keluar kelas mereka masing-masing. Segera
kurapikan peralatan yang ada diatas meja dan aku bergegas keluar menuju pintu
gerbang sekolah. Aku duduk di teras sekolah sambil memperhatikan kendaraan yang
berlalu lalang. Berangkat dan pulang sekolah aku selalu diantar mobil dengan
supir pribadi. Meskipun demikian aku tidak boleh sombong. Rasa rendah hati dan
bersyukur selalu diajarkan orangtua kepadaku.
“Gitaaaa” kudengar suara memanggil , aku mencoba berbalik
badan.
“Tasya….” sahutku
“ mau pulang??” Tanya Tasya.
“iya. Kamu pulang naik apa?”
“naik bus.”
“barengan sama aku aja ya?”
“boleh,ayoo” Tasya menyetujuinya.
Kami
pulang bersama, dalam mobil kita bercanda tawa sembari menyeritakan kesan
pertama di sekolah. Tasya adalah temanku sejak di SMP, walau sekarang ia
tidaklah sekelas bersamaku, ia tetap sahabat terbaikku. Sikap baik, jujur dan
kesederhananya lah yang menurutku berbeda dengan yang lain, bukan berarti aku
pilih-pilih dalam soal pergaulan, aku tidak pernah menutup diri untuk bergaul
dengan siapapun. Namun, Tasyalah yang menurutku spesial, dia
sahabat baikku, dan kita telah melewati hari-hari secara bersama-sama.
Beberapa
bulan kemudian
Tak
terasa sudah hampir 8 bulan aku menjadi siswa SMU, kujalankan tugasku layaknya
pelajar SMU yang lain, dan berbagai masalah mulai muncul kepadaku, mulai dari
masalah yang biasa dialami para remaja hingga tugas yang membuatku pusing dan
stress. Baru kusadari, masa SMU bukanlah untuk bersenang-senang justru masa
inilah yang akan menentukan masa depan kita kelak, tergantung niat dan usaha
yang dilakukan ketika dibangku sekolah. Aku memanglah bukan seorang yang sangat
pandai, aku hanya siswa dengan taraf kepandaian sedang-sedang, aku harus
berusaha keras untuk menjadi yang terbaik. Aku juga ingin membanggakan kedua
orangtuaku yang membanting tulang hanya untuk memenuhi kebutuhanku dan
keluarga. Aku amat bersyukur memiliki keluarga yang selalu menyayangiku dan
juga sahabat yang selalu memotivasiku ketika mengalami keterpurukan. Bagiku
sahabat adalah seorang yang harus bisa menerima keadaan sahabatnya dalam
keadaan susah maupun senang.
Satu
hal yang membuatku bingung dan aku tak dapat mengelaknya. Sesuatu yang biasa
dialami remaja dan aku tidak munafik untuk mengatakan bahwa aku mulai menyukai
lawan jenis, aku jatuh cinta. Rasa yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Rasa
yang membuatku amat tersiksa. Kusadari ini merupakan kodrat seorang untuk
menyukai lawan jenis.
Kita sudah saling mengenal satu sama lain, namun aku belum mengenalinya
sejauh itu, entah apa yang kurasakan saat bersamanya berbeda dengan yang lain,
sikap baik dan keramahannya membuatku nyaman bersamanya. Aku belum menceritakan
hal ini kepada sahabatku, Tasya, aku masih terlalu malu untuk mengungkap apa
yang sedang kurasakan. Tasya memang sahabat dekatku, apapun masalahku pasti
akan kuceritakan kepadanya, entah mengapa hal ini merupakan sebuah
pengecualian. Hatiku masih belum siap untuk menceritakan kepadanya, Betapa
malunya aku jika Tasya mengetahui dan membertahukan kepadanya. Aku hanya berani
menuliskannya kedalam buku diary kesayanganku. Aku bisa menuliskan apapun yang
tak ingin kuungkap dan juga keluh kesahku.
Walaupun kita mulai dekat layaknya sahabat tidak pernah sedikitpun kutampakkan
tanda-tanda rasa kagumku padanya, kadang kita jalan bertiga bersama Tasya walau
sekedar makan di kantin. Aku juga tak tau apakah dia juga memiliki rasa sama
sepertiku, rasanya hal itu tidak mungkin.
“Kriiiinggg,,,,,,,,,,” suara bel yang membangunkanku dari lamunan. Aku
bergegas cepat keluar menuju perpustakaan untuk mencari literature tugas
makalah. Dalam sudut ruangan kulihat Tasya sedang sibuk membaca buku, kucoba
dekati dia
“doooorrrr,,,,,” aku mencoba menggugah keseriusannya dengan buku
“ ahhh kamu buat kaget saja” timpalnya penuh kesal
“serius amat baca bukunya”
“ya donk,, kamu nyari buku apa git?” Tanya Tasya
“literature buat makalah sejarah” balasku
“oo” gumam Tasya
“sudah dulu ya, aku mau ke kelas” aku pamit
“oke” .
Sore
harinya Tasya bermain kerumahku, hal biasa yang dilakukannya apabila ingin
menceritakan sesuatu padaku.
“tumben sekali kamu kesini? Sudah lama kamu gak kerumahku” celotehku
“aku pengen curhat sama kamu Git,,,”
“curhat apa?”
Ia mulai menceritakan keluh kesahnya padaku, hingga ia
menceritakan sesuatu yang sama seperti apa yang aku rasakan, sesuatu yang
menjadi sebuah kewajaran bagi seorang remaja, seorang disana berhasil mengisi
hati sahabatku ini. Dengan penuh kegirangan ia menceritakan satu per satu
padaku. Satu bagian yang menurutku tidak seru ketika dia tidak memberitahuku
siapa seseorang itu. Karena aku merasa senasib dengan Tasya aku juga
menceritakannya tentang perasaan yang sedang melandaku. Walau malu tapi sedikit
rasa lega dengan unek-unek yang
membebaniku.
Esok
adalah hari minggu aku dan Tasya berniat tamasya jalan-jalan ke taman sekedar refreshing sambil
ngobrol-ngobol, tiba-tiba suatu nama terucapkan oleh Tasya “Dicky”
“kenapa dengan dicky sya?” tanyaku heran
“dia seorang yang aku ceritakan kemarin” dalam pengakuan Tasya
Aku hanya tercengang mendengar pengakuan Tasya, yang entah mengapa
membuat dadaku serasa sesak, tak kusadari aku pun mulai meneteskan air mata
“kenapa kamu menangis Git?” Tasya heran
“tidak, aku hanya terharu sahabatku bisa jatuh cinta” ku mencoba
menghibur
“yeeeeeee, udah donk jangan nangis”. Aku merasa tak kuat hati, aku belum
siap menerima kenyataan, dengan alasan yang kurang memuaskan aku pamit pulang
dan meninggalkan Tasya.
Dalam
kamar aku hanya bisa menangis, mengapa kita menyukai seorang yang sama, aku
harus mengalah demi sahabatku, mungkin aku hanya bisa menjadi seorang Secret
Admire.
Minggu depan aku akan pindah ke Jakarta, bukan untuk menghindar dari
masalah tetapi dikarenakan tugas ayahku yang memang harus pindah, ayah
sudah mengurus semua surat kepindahanku, aku mulai berpamitan dengan sahabatku
Tasya, dengan berat hati aku melepaskan sahabatku yang telah menghiasi hari-hariku
penuh kasih sayang, tak kuasa aku menahan air mata, akankah aku benar-benar
berpisah dengan sahabatku setelah aku berusaha menghilangkan Dicky dalam benak
hatiku, aku tidak berpamitan dengannya, karena hal itu akan membuat hatiku
berat.
Mobil
kami mulai meninggalkan Surabaya, kota kelahiranku. Di tengah perjalanan baru
kusadari diary kesayanganku tertinggal di rumah Tasya, lima hari yang lalu,
bagaimana jika Tasya membacanya? aku mulai mengkhawatirkannya tapi apalah yang
bias kulakukan, semua sudah
terlanjur
Tiga
tahun kemudian
Aku sudah berusaha melupakan cinta pertamaku, aku memutuskan untuk fokus
pada belajar. Kini aku sudah menjadi seorang mahasiswi, aku harus belajar
dengan giat untuk masa depanku. Aku juga sudah lama tidak berkontak dengan
Tasya, dalam benakku mungkin dia sudah mengetahui isi diaryku dan dia marah
padaku. Aku rindu sekali dengannya.
“Gitaaaa,,” teriak suara ayah memanggilku
“iya “
“ada tamu yang nyari kamu”
Aku segera bergegas keluar kamar dan menemuinya
“Tasyaaaa,,,” aku memeluknya
“aku kangen sama kamu git”
“sama sya”
“bagaimana kamu bisa kesini” tanyaku heran
“bisa donk”
“ah kamu,,,”
Kami mulai berbincang-bincang melepas kangen.
“Git,, kenapa kamu tidak bilang aku, kalau kamu ternyata juga suka
dicky?”
“ sudahlah git, bagiku sahabat jauh lebih penting, belum saatnya membahas
cinta, aku juga sudah melupakannya”Kami berpelukan. Tidak akan kulupakan jasa
sahabatku ini, sahabat lebih penting bagiku daripada orang lain yang belum tetu
mengenal kita.
“Gitaaaa” kudengar suara memanggil , aku mencoba berbalik badan.
“Tasya….” sahutku
“ mau pulang??” Tanya Tasya.
“iya. Kamu pulang naik apa?”
“naik bus.”
“barengan sama aku aja ya?”
“boleh,ayoo” Tasya menyetujuinya.
Kami pulang bersama, dalam mobil kita bercanda tawa sembari menyeritakan kesan pertama di sekolah. Tasya adalah temanku sejak di SMP, walau sekarang ia tidaklah sekelas bersamaku, ia tetap sahabat terbaikku. Sikap baik, jujur dan kesederhananya lah yang menurutku berbeda dengan yang lain, bukan berarti aku pilih-pilih dalam soal pergaulan, aku tidak pernah menutup diri untuk bergaul dengan siapapun. Namun, Tasyalah yang menurutku spesial, dia sahabat baikku, dan kita telah melewati hari-hari secara bersama-sama.
Beberapa bulan kemudian
Tak terasa sudah hampir 8 bulan aku menjadi siswa SMU, kujalankan tugasku layaknya pelajar SMU yang lain, dan berbagai masalah mulai muncul kepadaku, mulai dari masalah yang biasa dialami para remaja hingga tugas yang membuatku pusing dan stress. Baru kusadari, masa SMU bukanlah untuk bersenang-senang justru masa inilah yang akan menentukan masa depan kita kelak, tergantung niat dan usaha yang dilakukan ketika dibangku sekolah. Aku memanglah bukan seorang yang sangat pandai, aku hanya siswa dengan taraf kepandaian sedang-sedang, aku harus berusaha keras untuk menjadi yang terbaik. Aku juga ingin membanggakan kedua orangtuaku yang membanting tulang hanya untuk memenuhi kebutuhanku dan keluarga. Aku amat bersyukur memiliki keluarga yang selalu menyayangiku dan juga sahabat yang selalu memotivasiku ketika mengalami keterpurukan. Bagiku sahabat adalah seorang yang harus bisa menerima keadaan sahabatnya dalam keadaan susah maupun senang.
Satu hal yang membuatku bingung dan aku tak dapat mengelaknya. Sesuatu yang biasa dialami remaja dan aku tidak munafik untuk mengatakan bahwa aku mulai menyukai lawan jenis, aku jatuh cinta. Rasa yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Rasa yang membuatku amat tersiksa. Kusadari ini merupakan kodrat seorang untuk menyukai lawan jenis.
Kita sudah saling mengenal satu sama lain, namun aku belum mengenalinya sejauh itu, entah apa yang kurasakan saat bersamanya berbeda dengan yang lain, sikap baik dan keramahannya membuatku nyaman bersamanya. Aku belum menceritakan hal ini kepada sahabatku, Tasya, aku masih terlalu malu untuk mengungkap apa yang sedang kurasakan. Tasya memang sahabat dekatku, apapun masalahku pasti akan kuceritakan kepadanya, entah mengapa hal ini merupakan sebuah pengecualian. Hatiku masih belum siap untuk menceritakan kepadanya, Betapa malunya aku jika Tasya mengetahui dan membertahukan kepadanya. Aku hanya berani menuliskannya kedalam buku diary kesayanganku. Aku bisa menuliskan apapun yang tak ingin kuungkap dan juga keluh kesahku.
Walaupun kita mulai dekat layaknya sahabat tidak pernah sedikitpun kutampakkan tanda-tanda rasa kagumku padanya, kadang kita jalan bertiga bersama Tasya walau sekedar makan di kantin. Aku juga tak tau apakah dia juga memiliki rasa sama sepertiku, rasanya hal itu tidak mungkin.
“Kriiiinggg,,,,,,,,,,” suara bel yang membangunkanku dari lamunan. Aku bergegas cepat keluar menuju perpustakaan untuk mencari literature tugas makalah. Dalam sudut ruangan kulihat Tasya sedang sibuk membaca buku, kucoba dekati dia
“doooorrrr,,,,,” aku mencoba menggugah keseriusannya dengan buku
“ ahhh kamu buat kaget saja” timpalnya penuh kesal
“serius amat baca bukunya”
“ya donk,, kamu nyari buku apa git?” Tanya Tasya
“literature buat makalah sejarah” balasku
“oo” gumam Tasya
“sudah dulu ya, aku mau ke kelas” aku pamit
“oke” .
Sore harinya Tasya bermain kerumahku, hal biasa yang dilakukannya apabila ingin menceritakan sesuatu padaku.
“tumben sekali kamu kesini? Sudah lama kamu gak kerumahku” celotehku
“aku pengen curhat sama kamu Git,,,”
“curhat apa?”
Ia mulai menceritakan keluh kesahnya padaku, hingga ia menceritakan sesuatu yang sama seperti apa yang aku rasakan, sesuatu yang menjadi sebuah kewajaran bagi seorang remaja, seorang disana berhasil mengisi hati sahabatku ini. Dengan penuh kegirangan ia menceritakan satu per satu padaku. Satu bagian yang menurutku tidak seru ketika dia tidak memberitahuku siapa seseorang itu. Karena aku merasa senasib dengan Tasya aku juga menceritakannya tentang perasaan yang sedang melandaku. Walau malu tapi sedikit rasa lega dengan unek-unek yang membebaniku.
Esok adalah hari minggu aku dan Tasya berniat tamasya jalan-jalan ke taman sekedar refreshing sambil ngobrol-ngobol, tiba-tiba suatu nama terucapkan oleh Tasya “Dicky”
“kenapa dengan dicky sya?” tanyaku heran
“dia seorang yang aku ceritakan kemarin” dalam pengakuan Tasya
Aku hanya tercengang mendengar pengakuan Tasya, yang entah mengapa membuat dadaku serasa sesak, tak kusadari aku pun mulai meneteskan air mata
“kenapa kamu menangis Git?” Tasya heran
“tidak, aku hanya terharu sahabatku bisa jatuh cinta” ku mencoba menghibur
“yeeeeeee, udah donk jangan nangis”. Aku merasa tak kuat hati, aku belum siap menerima kenyataan, dengan alasan yang kurang memuaskan aku pamit pulang dan meninggalkan Tasya.
Dalam kamar aku hanya bisa menangis, mengapa kita menyukai seorang yang sama, aku harus mengalah demi sahabatku, mungkin aku hanya bisa menjadi seorang Secret Admire.
Minggu depan aku akan pindah ke Jakarta, bukan untuk menghindar dari masalah tetapi dikarenakan tugas ayahku yang memang harus pindah, ayah sudah mengurus semua surat kepindahanku, aku mulai berpamitan dengan sahabatku Tasya, dengan berat hati aku melepaskan sahabatku yang telah menghiasi hari-hariku penuh kasih sayang, tak kuasa aku menahan air mata, akankah aku benar-benar berpisah dengan sahabatku setelah aku berusaha menghilangkan Dicky dalam benak hatiku, aku tidak berpamitan dengannya, karena hal itu akan membuat hatiku berat.
Mobil kami mulai meninggalkan Surabaya, kota kelahiranku. Di tengah perjalanan baru kusadari diary kesayanganku tertinggal di rumah Tasya, lima hari yang lalu, bagaimana jika Tasya membacanya? aku mulai mengkhawatirkannya tapi apalah yang bias kulakukan, semua sudah terlanjur
Tiga tahun kemudian
Aku sudah berusaha melupakan cinta pertamaku, aku memutuskan untuk fokus pada belajar. Kini aku sudah menjadi seorang mahasiswi, aku harus belajar dengan giat untuk masa depanku. Aku juga sudah lama tidak berkontak dengan Tasya, dalam benakku mungkin dia sudah mengetahui isi diaryku dan dia marah padaku. Aku rindu sekali dengannya.
“Gitaaaa,,” teriak suara ayah memanggilku
“iya “
“ada tamu yang nyari kamu”
Aku segera bergegas keluar kamar dan menemuinya
“Tasyaaaa,,,” aku memeluknya
“aku kangen sama kamu git”
“sama sya”
“bagaimana kamu bisa kesini” tanyaku heran
“bisa donk”
“ah kamu,,,”
Kami mulai berbincang-bincang melepas kangen.
“Git,, kenapa kamu tidak bilang aku, kalau kamu ternyata juga suka dicky?”
“ sudahlah git, bagiku sahabat jauh lebih penting, belum saatnya membahas cinta, aku juga sudah melupakannya”Kami berpelukan. Tidak akan kulupakan jasa sahabatku ini, sahabat lebih penting bagiku daripada orang lain yang belum tetu mengenal kita.
0 komentar:
Posting Komentar